oleh
Rosy DAS
Pembungkaman terhadap awak media adalah
pembungkaman suara rakyat.
Undang
Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 1 ayat (2) mengatakan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sesuai
Undang-Undang Dasar.” Pasal tersebut sebagai bukti bahwa Indonesia adalah
negara yang demokratis. Saya pun mengamini hal tersebut. Jika tidak, saya tidak
akan berani menuliskan esai ini. Bisa-bisa saya diculik atau diracuni antek
pemerintah anti demokrasi.
Prinsip
negara demokrasi salah satunya adalah menjaga atau menjamin Hak Asasi Manusia
(HAM) rakyatnya. Mulai dari hak dasar, seperti hak hidup dan hak-hak universal
lainnya. Namun nampaknya pemerintah Indonesia masih belum tegas menjalankan
tugasnya dalam melindungi hak rakyat.
Banyak
kesenjangan HAM yang terjadi. Misalnya, terkucilkannya warga Syiah Sampang,
hilangnya hak-hak bagi LGTB (Lesbi, Gay, Transgender, dan Biseks), biasnya
kasus Free Port di Papua, dan masih banyak lagi.
Saya
tidak akan membahas kasus-kasus HAM di Indonesia satu per satu. Pemerintah saja
tidak mampu mengatasi satu pun kasus HAM tersebut, apalagi saya. Saya hanya akan
membahas mengenai pembatasan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.
UUD
1945 Pasal 28 F
menyatakan: “Setiap orang
berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi
dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.”
Pemerintah
sekarang memang tidak lagi membatasi media dan literatur secara terang-terangan
seperti masa Balai Pustaka. Namum tetap saja, masih ada saja pemberedelan dan
pembiasan media yang dilakukan sedemikian rupa agar luput dari perhatian
masyarakat.
Media
merupakan wadah dimana masyarakat dapat memperoleh informasi. Sembilan (plus
satu) elemen jurnalisme menjadi pegangan media agar berita mereka mendapat
kepercayaan dari masyarakat. Media juga yang menjaga hak masyarakat untuk
mengetahui informasi mengenai apa pun.
Media
yang saya maksudkan merupakan media hasil dari produk jurnalistik yang disusun
oleh awak media, biasa kita sebut pers. Pers memegang peranan penting dalam
memperoleh informasi dan mengemasnya menjadi suguhan media bagi masyarakat. Oleh
sebab itu, tidak heran bahwa kebebasan pers menjadi salah satu dari empat pilar
negara demokratis.
Memang
Indonesia memiliki banyak media dan pers. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa
intervensi dan pembatasan pemberitaan media marak terjadi. Salah satu cara yang
dilakukan pemerintah dalam membatasi informasi publik adalah intervensi
terhadap pers. Intervensi tersebut dapat berupa ancaman, penculikan, bahkan
pembunuhan.
Kita
tengok kasus Munir yang 2014 lalu genap 10 tahun. Kasus ini bukan hanya sebatas
pelanggaran hak hidup Munir sebagai warga negara Indonesia yang sah. Tetapi
dibalik kasus tersebut terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM terkait pembatasan
informasi publik.
Munir
mengorek aib pemerintah melalui kasus
hilangnya 24 aktifis dan mahasiswa di Jakarta tahun 1998, kasus pembunuhan
besar-besaran masyarakat sipil di Tanjung Priok tahun 1984, kasus penembakan
mahasiswa di Semanggi, Tragedi 1 dan 2; 1998-1999 dan masih banyak kasus-kasus
lain.
Terlibatnya
Munir dalam pembongkaran kasus-kasus tersebut rupanya menjadi ketakutan
tersendiri bagi pemerintah. Tidak heran jika sampai sekarang kasus Munir selalu
dipersulit baik persidangan maupun penyelidikannya. Mungkin pemerintah takut
dengan terkuaknya semua kasus tersebut momok mereka tersorot.
Kasus
tersebut menjadi contoh besar bagaimana pemerintah masih berusaha membatasi
media. Dampaknya, masyarakat menjadi buta. Mereka hanya dicekoki kebaikan
pemerintahan di Indonesia, serta keindahan alamnya saja. Pemerintah berusaha
menyembunyikan keburukan mereka agar masyarakat tidak berontak.
Padahal
masyarakat memiliki hak untuk tahu bagaimana kerja wakil mereka dan apa saja
huru-hara negeri ini. Namun,
bukannya mendapat kejelasan mengenai kasus-kasus HAM yang belum selesai,
masyarakat mendapati pejuang HAM menjadi korban HAM.
Kasus
serupa juga terjadi di kalangan perguruan tinggi negeri. Saya tergabung dalam
pers mahasiswa di kampus. Sebagai awak pers mahasiswa, saya pernah mendapatkan
ancaman dari dekanat. Ancaman yang saya dapat berupa pemberhentian beasiswa.
Ancaman
ini dilakukan terkait pemberitaan media Buletin Prtikelir edisi Juni 2014
tentang Mafia Dana Praktikum Mahasiswa.
Buletin ini membahas mengenai ketidakjelasan dana praktikum mahasiswa Program
Studi Televisi dan Film (PSTF) Fakultas Sastra Universitas Jember (FS UJ)
angkatan 2012.
Dekanat
menganggap media kami negatif. Ia menyuruh saya, yang saat itu sedang menghadap
di ruangannya, untuk memberitakan hal-hal positif tentang kampus. Lalu apa
bedanya pers mahasiswa dengan humas kampus?
Ancaman
dan intimindasi terhadap awak media merupakan salah satu bentuk pembungkaman di
masa kekinian. Dimana birokrat berusaha menutupi dan membungkan sumber
informasi. Pembungkaman ini akan berdampak pada pembiasan informasi yang
diterima masyarakat.
Saya
rasa masyarakat Indonesia sudah kapok dengan pemerintahan otoriter. Negara lain
sudah memikirkan persaingan ekonomi antarnegara, kita masih saja disibukkan
dengan kasus media dan HAM.
Maka
dari itu, pemerintah harus tegas. Tegas bukan berarti diktator. Tegas dalam
arti bijak dalam mengambil keputusan dalam hal peradilan. Bukan hanya tegas
dihadapan maling sandal japit saja, tetapi tegas dihadapan semua warga negara
Indonesia. Setiap warga negara Indonesia memiliki kesetaraan perlindungan
hukum. Jangan hanya karena keterlibatan ‘orang-orang penting’ banyak kasus
menjadi blur. Justru di-blur-kannya kasus-kasus tersebut, negara
menjadi pelaku pelanggaran HAM. Melanggat hak masyarakat untuk tahu.
Masyarakat
berhak tahu, mana pemerintah yang baik dan mana pemerintah yang buruk. Media
membantu masyarakat dalam mewujudkan hak tersebut. Maka dari itu, pembatasan
media melalui ancaman, intervensi, intimindasi, kekerasan, bahkan pembunuhan
awak media sudah ketinggalan zaman.
Pemerintah
yang baik dan bersih adalah pemerintah yang mau menerima kritisi. Baik itu
melalui media maupun masyarakat. Karena Indonesia adalah negara demokratis,
maka masyarakat berhak mengemukakan pendapat. Termasuk pendapat mengenai
kebusukan pemerintahnya.[]
Tulisan ini merupakan esai yang saya
kirimkan ke KontraS Surabaya, komisi untuk orang hilang dan korban tindak
kekerasan. Esai ini saya kirimkan untuk mengikuti Sekolah HAM dan Demokrasi di
Pecet, Mojokerto 28-31 Januari 2015.
Entah kutukan apa yang
menimpa saya, selalu saja keadaan membuat saya mengirim esai tepat satu jam
sebelum pendaftaran ditutup. Jadi lagi-lagi esai ini belum sempat saya
konsultasikan pada sabem-sabem jurnalis. Harap dimaklumi jika tulisan ini out of focus. Salam pembela HAM! J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar