Rabu, 11 Februari 2015

Negara Demokrasi Anti Kritisi

oleh Rosy DAS

Pembungkaman terhadap awak media adalah pembungkaman suara rakyat.

Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 1 ayat (2) mengatakan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sesuai Undang-Undang Dasar.” Pasal tersebut sebagai bukti bahwa Indonesia adalah negara yang demokratis. Saya pun mengamini hal tersebut. Jika tidak, saya tidak akan berani menuliskan esai ini. Bisa-bisa saya diculik atau diracuni antek pemerintah anti demokrasi.
Prinsip negara demokrasi salah satunya adalah menjaga atau menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) rakyatnya. Mulai dari hak dasar, seperti hak hidup dan hak-hak universal lainnya. Namun nampaknya pemerintah Indonesia masih belum tegas menjalankan tugasnya dalam melindungi hak rakyat.
Banyak kesenjangan HAM yang terjadi. Misalnya, terkucilkannya warga Syiah Sampang, hilangnya hak-hak bagi LGTB (Lesbi, Gay, Transgender, dan Biseks), biasnya kasus Free Port di Papua, dan masih banyak lagi.
Saya tidak akan membahas kasus-kasus HAM di Indonesia satu per satu. Pemerintah saja tidak mampu mengatasi satu pun kasus HAM tersebut, apalagi saya. Saya hanya akan membahas mengenai pembatasan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.
UUD 1945 Pasal 28 F menyatakan: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Pemerintah sekarang memang tidak lagi membatasi media dan literatur secara terang-terangan seperti masa Balai Pustaka. Namum tetap saja, masih ada saja pemberedelan dan pembiasan media yang dilakukan sedemikian rupa agar luput dari perhatian masyarakat.
Media merupakan wadah dimana masyarakat dapat memperoleh informasi. Sembilan (plus satu) elemen jurnalisme menjadi pegangan media agar berita mereka mendapat kepercayaan dari masyarakat. Media juga yang menjaga hak masyarakat untuk mengetahui informasi mengenai apa pun.
Media yang saya maksudkan merupakan media hasil dari produk jurnalistik yang disusun oleh awak media, biasa kita sebut pers. Pers memegang peranan penting dalam memperoleh informasi dan mengemasnya menjadi suguhan media bagi masyarakat. Oleh sebab itu, tidak heran bahwa kebebasan pers menjadi salah satu dari empat pilar negara demokratis.
Memang Indonesia memiliki banyak media dan pers. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa intervensi dan pembatasan pemberitaan media marak terjadi. Salah satu cara yang dilakukan pemerintah dalam membatasi informasi publik adalah intervensi terhadap pers. Intervensi tersebut dapat berupa ancaman, penculikan, bahkan pembunuhan.
Kita tengok kasus Munir yang 2014 lalu genap 10 tahun. Kasus ini bukan hanya sebatas pelanggaran hak hidup Munir sebagai warga negara Indonesia yang sah. Tetapi dibalik kasus tersebut terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM terkait pembatasan informasi publik.
Munir mengorek aib pemerintah melalui kasus hilangnya 24 aktifis dan mahasiswa di Jakarta tahun 1998, kasus pembunuhan besar-besaran masyarakat sipil di Tanjung Priok tahun 1984, kasus penembakan mahasiswa di Semanggi, Tragedi 1 dan 2; 1998-1999 dan masih banyak kasus-kasus lain.
Terlibatnya Munir dalam pembongkaran kasus-kasus tersebut rupanya menjadi ketakutan tersendiri bagi pemerintah. Tidak heran jika sampai sekarang kasus Munir selalu dipersulit baik persidangan maupun penyelidikannya. Mungkin pemerintah takut dengan terkuaknya semua kasus tersebut momok mereka tersorot.
Kasus tersebut menjadi contoh besar bagaimana pemerintah masih berusaha membatasi media. Dampaknya, masyarakat menjadi buta. Mereka hanya dicekoki kebaikan pemerintahan di Indonesia, serta keindahan alamnya saja. Pemerintah berusaha menyembunyikan keburukan mereka agar masyarakat tidak berontak.
Padahal masyarakat memiliki hak untuk tahu bagaimana kerja wakil mereka dan apa saja huru-hara negeri ini. Namun, bukannya mendapat kejelasan mengenai kasus-kasus HAM yang belum selesai, masyarakat mendapati pejuang HAM menjadi korban HAM.
Kasus serupa juga terjadi di kalangan perguruan tinggi negeri. Saya tergabung dalam pers mahasiswa di kampus. Sebagai awak pers mahasiswa, saya pernah mendapatkan ancaman dari dekanat. Ancaman yang saya dapat berupa pemberhentian beasiswa.
Ancaman ini dilakukan terkait pemberitaan media Buletin Prtikelir edisi Juni 2014 tentang Mafia Dana Praktikum Mahasiswa. Buletin ini membahas mengenai ketidakjelasan dana praktikum mahasiswa Program Studi Televisi dan Film (PSTF) Fakultas Sastra Universitas Jember (FS UJ) angkatan 2012.
Dekanat menganggap media kami negatif. Ia menyuruh saya, yang saat itu sedang menghadap di ruangannya, untuk memberitakan hal-hal positif tentang kampus. Lalu apa bedanya pers mahasiswa dengan humas kampus?
Ancaman dan intimindasi terhadap awak media merupakan salah satu bentuk pembungkaman di masa kekinian. Dimana birokrat berusaha menutupi dan membungkan sumber informasi. Pembungkaman ini akan berdampak pada pembiasan informasi yang diterima masyarakat.
Saya rasa masyarakat Indonesia sudah kapok dengan pemerintahan otoriter. Negara lain sudah memikirkan persaingan ekonomi antarnegara, kita masih saja disibukkan dengan kasus media dan HAM.
Maka dari itu, pemerintah harus tegas. Tegas bukan berarti diktator. Tegas dalam arti bijak dalam mengambil keputusan dalam hal peradilan. Bukan hanya tegas dihadapan maling sandal japit saja, tetapi tegas dihadapan semua warga negara Indonesia. Setiap warga negara Indonesia memiliki kesetaraan perlindungan hukum. Jangan hanya karena keterlibatan ‘orang-orang penting’ banyak kasus menjadi blur. Justru di-blur-kannya kasus-kasus tersebut, negara menjadi pelaku pelanggaran HAM. Melanggat hak masyarakat untuk tahu.
Masyarakat berhak tahu, mana pemerintah yang baik dan mana pemerintah yang buruk. Media membantu masyarakat dalam mewujudkan hak tersebut. Maka dari itu, pembatasan media melalui ancaman, intervensi, intimindasi, kekerasan, bahkan pembunuhan awak media sudah ketinggalan zaman.
Pemerintah yang baik dan bersih adalah pemerintah yang mau menerima kritisi. Baik itu melalui media maupun masyarakat. Karena Indonesia adalah negara demokratis, maka masyarakat berhak mengemukakan pendapat. Termasuk pendapat mengenai kebusukan pemerintahnya.[]


Tulisan ini merupakan esai yang saya kirimkan ke KontraS Surabaya, komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan. Esai ini saya kirimkan untuk mengikuti Sekolah HAM dan Demokrasi di Pecet, Mojokerto  28-31 Januari 2015.
Entah kutukan apa yang menimpa saya, selalu saja keadaan membuat saya mengirim esai tepat satu jam sebelum pendaftaran ditutup. Jadi lagi-lagi esai ini belum sempat saya konsultasikan pada sabem-sabem jurnalis. Harap dimaklumi jika tulisan ini out of focus. Salam pembela HAM! J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar