oleh Rosy DAS
Keberagaman tidak akan muncul tanpa adanya
perbedaan. Perbedaan ada pada setiap aspek kehidupan manusia. Bahkan satu individu dengan individu lainnya
tidak ada yang sama. Oleh sebab itulah, manusia selalu ingin mencari
persamaan-persamaan diantara mereka. Manusia tersebut berkelompok berdasarkan
kesamaan geografis, ideologi, ciri fisik, atau agama. Dari situ muncullah
unsur-unsur sentimentil yang kemudian kita sebut SARA (Suku, Ras, dan Agama).
Perbedaan-perbedaan yang ada pada bangsa ini
dijadikan suatu kelebihan, sebut saja Bhinneka Tunggal Ika. Padahal secara
tidak langsung, hal itu menunjukkan kekurangan. Seolah membanggakan diri dengan
kemampuan mengatasi perbedaan, padahal hanya menututpinya. Banyak sekali
kasus-kasus yang diatas namakan perbedaan tersebut. Hal paling absurd dari
kasus yang pernah ada adalah perbedaan agama.
Pada dasarnya semua manusia memiliki hak untuk
percaya pada apa mereka ingin percayai. Sayangnya di Indonesia, agama hanya enam
yang dianggap resmi. Enam agama tersebut adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha, dan Konghuchu. Hal ini jelas menyatakan bahwa negara hanya mengakui
agama seseorang jika kepercayaannya tergolong dalam salah satu pilihan
tersebut.
Lalu bagaimana dengan mereka yang memiliki
kepercayaan lain? Mereka disebut sesat oleh pemeluk mayoritas. Lalu bagaimana
dengan atheis? Kelompok orang yang mengaku tidak bertuhan. Mereka dianggap
menyalahi Pancasila, sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Padahal mereka
memiliki tuhan. Atheis memiliki kepercayaan, bahwa tuhan tidak ada. Kepercayaan
pada ketiadaan tuhan itulah yang mereka sebut tuhan. Jadi bisa dibilang mereka
memiliki agama. Agama tanpa tuhan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
menyebutkan bahwa agama adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia serta lingkungannya. KBBI perlu
adanya revisi. Pada kenyataannya di Indonesia, agama adalah ajaran sesuai undang-undang, yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia serta lingkungannya. Padahal
tuhan sendiri tidak memberi batasan pada pemikiran manusia, termasuk
kepercayaan mereka.
Yang lucu adalah ketika kaum minor
berkecimpung dengan masalah pengakuan negara, agama yang sudah resmi malah
memulai budaya saling serang. Sebut saja Islam dan Kristen, dua agama yang
paling banyak dianut di Indonesia. Dari tahun ke tahun jumlah kasus sengketa
agama terus muncul. Yang paling sering terjadi adalah kasus perusakan rumah
ibadah.
Salah satu kasus perusakan rumah ibadah yang
saya ketahui adalah kasus penutupan Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) di
Mojokerto. Warga menutup tempat ibadah ini dengan alasan mengganggu warga.
Memang, ibadah gereja-gereja Kristen saat ini lebih maju. Mereka menggunakan
alat musik dan sound system
sedemikian rupa supaya menghasilkan alunan pujian yang indah menurut mereka.
Jika tanpa peredam suara, tentu tetangga di
kanan kirinya dengan tidak sengaja mendengar aktivitas ibadah tersebut.
Tetangga di kanan kiri yang belum tentu memiliki kepercayaan sama ini juga
pasti bisa mendengar kotbah pendeta di gereja tersebut. Kotbah pendeta tentu
saja berbeda substansinya dengan ceramah ustad.
Terlepas dari apa isi kotbah tersebut, disini
sikap toleran diuji. Ketika lantunan adzan dikumandangkan lima kali sehari,
tidak ada kasus penutupan masjid oleh warga. Itu karena islam adalah kaum
mayoritas. Perbandingannya menjadi lima kali sehari setiap hari dibanding
dengan seminggu sekali. Itulah kekuatan mayor.
Ketika ceramah disiarkan melalui toa dengan
radius 500 meter, tidak ada yang protes. Bahkan ketika isi ceramah tersebut
menyebutkan kaum minor adalah khafir, yang terjadi hanyalah umpatan dalam hati.
Beda dengan kaum minor, berisik sedikit ‘botol’ melayang.
Sengketa kembali memanas ketika gereja meminta
perlindungan pada pemerintah. Tentu saja kasus semacam ini akan diurus di meja
hijau, tetapi lain ceritanya jika gereja tidak memiliki izin resmi membangun rumah
ibadah dari pemerintah. Terdaftar saja tidak, bagaimana bisa meminta
perlindungan. Mereka bisa saja melakukan suatu persekutuan dan beribadah di suatu
tempat, mereka sebut itu gereja. Tapi yang disebut gereja oleh negara adalah
mereka yang memilki surat izin membangun rumah ibadah.
Butuh proses dalam mengurus surat izin
tersebut. Bisa saja gereja yang dirusak tersebut sedang dalam proses. Pada akhirnya
lingkungan membuat gereja layu sebelum berkembang.
Yang paling parah adalah nasib jemaat dari
gereja tersebut. Mereka harus mencari tempat ibadah lain. Tidak masalah bila
keberadaan gereja sama dengan masjid yang selalu ada di setiap Rukun Tetangga
(RT). Masalahnya, keberadaan gereja tidak dapat dipastikan. Ada beberapa daerah
yang hanya memperbolehkan satu gereja untuk satu kecamatan. Sementara jumlah
jemaat nasrani tidak merata di setiap daerah. Sepertinya aspek ekonomi,
geologi, pendidikan, dan hal-hal vital terkait akses tempat ibadah tersebut
kurang diperhatikan. Alternatif yang dapat dilakukan hanyalah beribadah di
rumah-rumah tanpa memiliki izin. Mereka akan terus dikejar oleh bayang-bayang
masyarkat yang menganggap mereka mengganggu.
Jangankan izin, meminta dana bantuan membangun
rumah ibadah pun sulit. Jangan dikira jemaat nasrani semua singkek berdompet tebal. Itu hanya ada di kota besar. Bukan maksud
mereka untuk membuat kebisingan, tetapi memang gedung gereja tersebut yang
tidak dapat meredam suara. Kalau saja bisa, mereka tidak akan ragu memasang
peredam agar tidak mengganggu warga. Kalau bisa.
Kesalahan tidak
sepenuhnya ada pada kaum mayor. Pendekatan kaum minor yang kurang pada
lingkungannya juga menjadi masalah. Ketika pastori atau jemaat tidak bisa
berbaur akrab dengan lingkungannya yang dikelilingi kaum mayoritas, itulah
kunci permasalahannya. Jujur saja. Saya kristen. Ayah saya pendeta. Namun tidak
sampai ada kasus kediaman atau gereja kami dibakar dan dirusak. Paling-paling
hanya teror.
Saya pernah
tinggal di Bandung. Kami mendiami rumah bekas gereja yang ditutup warga.
Bulan-bulan pertama, rumah kami sering dilempari plastik kresek berisi sampah
oleh warga sekitar, tak jarang botol-botol bekas dilempar melalui tembok rumah.
Maka dari itu orang tua saya melarang bermain-main dekat gerbang, tembok, dan
pagar yang mengelilingi rumah.
Untuk
mengatasinya, kami mulai melakukan pendekatan. Segala macam cara dilakukan.
Mulai dari memberi ‘jajan’ secara rutin pada tetangga, rajin mengikuti ronda,
membayar iuran, dan mengikuti segala aktivitas warga dan budayanya. Memang
direspon tidak baik pada awalnya. Namun siapa pun, termasuk mereka, pasti
terbuka hatinya bila sudah saling mengenal. Buktinya, sampai sekarang saya
masih hidup tanpa ada pecahan botol menembus otak.
Semua butuh
proses. Termasuk meminta surat izin membangun rumah ibadah, butuh proses.
Mewujudkan keberagaman yang selaras pun butuh proses. Sembari menunggu proses
tersebut kenapa kita tidak menanam sedikit demi sedikit rasa toleran.
Mengingat
Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 Tentang
Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, seakan mewujudkan
keberagaman yang ingin dicapai Bhinneka Tunggal Ika menjadi soal sulit. Pasal 1
menyebutkan bahwa Setiap orang dilarang
dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan
dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di
Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai
kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Tak perlulah kita
menafsirkan agama ini sebagai suatu kesesatan dan kepercayaan ini suatu
pemberontakan kepada Tuhan. Yang negara ini butuhkan adalah rasa toleran anda.
Tulisan ini
merupakan esai yang saya kirimkan ke Seikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK)
untuk mengikuti Workshop Pers Kampus “Meliput Isu Keberagaman” di Bali 19-21
November 2014. Tulisan ini saya buat 12 jam sebelum penutupan pendaftaran. Saya
mengirimnya tepat satu jam sebelum pendaftaran ditutup.
Jadi esai ini
belum sempat saya konsultasikan pada sabem-sabem jurnalis. Harap dimaklumi jika
tulisan ini out of focus. Salam
keberagaman! J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar